selamat siang agan sekalian ,kali ini ane mau ngeshare sedikit dari ratusan hasil karya sang maestro WS.RENDRA . langsung saja kita ke ktp ,,,,,,,, eh maksud ane tkp :)

:::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::



 SAJAK SEORANG TUA UNTUK ISTERINYA
karya : ws.rendra

Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara kau kenangkan encokmu
kenangkanlah pula masa remaja kita yang gemilang
Dan juga masa depan kita
yang hampir rampung
dan dengan lega akan kita lunaskan.
Kita tidaklah sendiri
dan terasing dengan nasib kita
Kerna soalnya adalah hukum sejarah kehidupan.
Suka duka kita bukanlah istimewa
kerna setiap orang mengalaminya.
Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh
Hidup adalah untuk mengolah hidup
bekerja membalik tanah
memasuki rahasia langit dan samodra,
serta mencipta dan mengukir dunia.
Kita menyandang tugas,
kerna tugas adalah tugas.
Bukannya demi sorga atau neraka.
Tetapi demi kehormatan seorang manusia.
Kerna sesungguhnyalah kita bukan debu
meski kita telah reyot, tua renta dan kelabu.
Kita adalah kepribadian
dan harga kita adalah kehormatan kita.
Tolehlah lagi ke belakang
ke masa silam yang tak seorangpun kuasa menghapusnya.
Lihatlah betapa tahun-tahun kita penuh warna.
Sembilan puluh tahun yang dibelai napas kita.
Sembilan puluh tahun yang selalu bangkit
melewatkan tahun-tahun lama yang porak poranda.
Dan kenangkanlah pula
bagaimana kita dahulu tersenyum senantiasa
menghadapi langit dan bumi, dan juga nasib kita.
Kita tersenyum bukanlah kerna bersandiwara.
Bukan kerna senyuman adalah suatu kedok.
Tetapi kerna senyuman adalah suatu sikap.
Sikap kita untuk Tuhan, manusia sesama,
nasib, dan kehidupan.
Lihatlah! Sembilan puluh tahun penuh warna
Kenangkanlah bahwa kita telah selalu menolak menjadi koma.
Kita menjadi goyah dan bongkok
kerna usia nampaknya lebih kuat dari kita
tetapi bukan kerna kita telah terkalahkan.
Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara kaukenangkan encokmu
kenangkanlah pula
bahwa kita ditantang seratus dewa.
:::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::



Aku Tulis Pamplet Ini
karya: WS. Rendra

Aku tulis pamplet ini
karena lembaga pendapat umum
ditutupi jaring labah-labah
Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk,
dan ungkapan diri ditekan
menjadi peng – iya – an
Apa yang terpegang hari ini
bisa luput besok pagi
Ketidakpastian merajalela.
Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki
menjadi marabahaya
menjadi isi kebon binatang

Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi,
maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam
Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan.
Tidak mengandung perdebatan
Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan

Aku tulis pamplet ini
karena pamplet bukan tabu bagi penyair
Aku inginkan merpati pos.
Aku ingin memainkan bendera-bendera semaphore di tanganku
Aku ingin membuat isyarat asap kaum Indian.

Aku tidak melihat alasan
kenapa harus diam tertekan dan termangu.
Aku ingin secara wajar kita bertukar kabar.
Duduk berdebat menyatakan setuju dan tidak setuju.

Kenapa ketakutan menjadi tabir pikiran ?
Kekhawatiran telah mencemarkan kehidupan.
Ketegangan telah mengganti pergaulan pikiran yang merdeka.

Matahari menyinari airmata yang berderai menjadi api.
Rembulan memberi mimpi pada dendam.
Gelombang angin menyingkapkan keluh kesah

yang teronggok bagai sampah
Kegamangan. Kecurigaan.
Ketakutan.
Kelesuan.

Aku tulis pamplet ini
karena kawan dan lawan adalah saudara
Di dalam alam masih ada cahaya.
Matahari yang tenggelam diganti rembulan.
Lalu besok pagi pasti terbit kembali.
Dan di dalam air lumpur kehidupan,
aku melihat bagai terkaca :
ternyata kita, toh, manusia !



:::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::



Rumpun Alang-Alang
Pengarang: WS. Rendra

Engkaulah perempuan terkasih, yang sejenak kulupakan, sayang
Kerna dalam sepi yang jahat tumbuh alang-alang di hatiku yang malang
Di hatiku alang-alang menancapkan akar-akarnya yang gatal
Serumpun alang-alang gelap, lembut dan nakal

Gelap dan bergoyang ia
dan ia pun berbunga dosa
Engkau tetap yang punya
tapi alang-alang tumbuh di dada


:::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::



SAJAK TANGAN
Pengarang : WS. Rendra

Inilah tangan seorang mahasiswa,
tingkat sarjana muda.
Tanganku. Astaga.

Tanganku menggapai,
yang terpegang anderox hostes berumbai,
Aku bego. Tanganku lunglai.

Tanganku mengetuk pintu,
tak ada jawaban.
Aku tendang pintu,
pintu terbuka.
Di balik pintu ada lagi pintu.
Dan selalu :
ada tulisan jam bicara
yang singkat batasnya.

Aku masukkan tangan-tanganku ke celana
dan aku keluar mengembara.
Aku ditelan Indonesia Raya.

Tangan di dalam kehidupan
muncul di depanku.
Tanganku aku sodorkan.
Nampak asing di antara tangan beribu.
Aku bimbang akan masa depanku.

Tangan petani yang berlumpur,
tangan nelayan yang bergaram,
aku jabat dalam tanganku.
Tangan mereka penuh pergulatan
Tangan-tangan yang menghasilkan.
Tanganku yang gamang
tidak memecahkan persoalan.

Tangan cukong,
tangan pejabat,
gemuk, luwes, dan sangat kuat.
Tanganku yang gamang dicurigai,
disikat.

Tanganku mengepal.
Ketika terbuka menjadi cakar.
Aku meraih ke arah delapan penjuru.
Di setiap meja kantor
bercokol tentara atau orang tua.
Di desa-desa
para petani hanya buruh tuan tanah.
Di pantai-pantai
para nelayan tidak punya kapal.
Perdagangan berjalan tanpa swadaya.
Politik hanya mengabdi pada cuaca…..
Tanganku mengepal.
Tetapi tembok batu didepanku.
Hidupku tanpa masa depan.

Kini aku kantongi tanganku.
Aku berjalan mengembara.
Aku akan menulis kata-kata kotor
di meja rektor

:::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::



Puisi Sikap

maunya mulutmu bicara terus

tapi telingamu tak mau mendengar
maumu aku ini jadi pendengar
terus
bisu
kamu memang punya tank
tapi salah besar kamu

kalau karena itu
aku lantas manut
andai benar
ada kehidupan lagi nanti

setelah kehidupan ini
maka akan kuceritakan kepada semua mahkluk

bahwa sepanjang umurku dulu
telah kuletakkan rasa takut itu di tumitku

dan kuhabiskan hidupku
untuk menentangmu
hei penguasa zalim


:::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::



Pamplet Cinta

Oleh : W.S. Rendra

Ma, nyamperin matahari dari satu sisi.Memandang wajahmu dari segenap jurusan.

Aku menyaksikan zaman berjalan kalangkabutan.Aku melihat waktu melaju melanda masyarakatku.Aku merindukan wajahmu,dan aku melihat wajah-wajah berdarah para mahasiswa.Kampus telah
diserbu mobil berlapis baja.Kata-kata telah dilawan dengan

senjata.Aku muak dengan gaya keamanan semacam ini.Kenapa keamanan justru menciptakan ketakutan dan keteganganSumber keamanan seharusnya hukum dan akal sehat.Keamanan yang berdasarkan senjata dan kekuasaan adalah penindasan

Suatu malam aku mandi di lautan.Sepi menjdai kaca.Bunga-bunga yang ajaib bermekaran di langit.Aku inginkan kamu, tapi kamu tidak ada.Sepi menjadi kaca.
Apa yang bisa dilakukan oleh

penyairbila setiap kata telah dilawan dengan kekuasaan ?Udara penuh rasa curiga.Tegur sapa tanpa jaminan.

Air lautan berkilat-kilat.Suara lautan adalah suara kesepian.Dan lalu muncul wajahmu.

Kamu menjadi maknaMakna menjadi harapan.Sebenarnya apakah harapan ?Harapan adalah karena aku akan membelai

rambutmu.Harapan adalah karena aku akan tetap menulis sajak.Harapan adalah karena aku akan melakukan sesuatu.Aku tertawa, Ma !

Angin menyapu rambutku.Aku terkenang kepada apa yang telah terjadi.

Sepuluh tahun aku berjalan tanpa tidur.Pantatku karatan aku seret dari warung ke warung.Perutku sobek di jalan raya yang

lengang…….Tidak. Aku tidak sedih dan kesepian.Aku menulis sajak di bordes kereta api.Aku bertualang di dalam udara yang berdebu.
Dengan berteman anjing-anjing

geladak dan kucing-kucing liar,aku bernyanyi menikmati hidup yang kelabu.Lalu muncullah

kamu,nongol dari perut matahari bunting,jam duabelas seperempat siang.Aku terkesima.Aku disergap kejadian tak terduga.Rahmat turun bagai hujanmembuatku segar,tapi juga menggigil bertanya-tanya.Aku jadi bego, Ma !
Yaaah , Ma, mencintai kamu adalah bahagia dan sedih.Bahagia karena mempunyai kamu di dalam kalbuku,dan sedih karena kita sering berpisah.Ketegangan menjadi pupuk cinta kita.Tetapi bukankah kehidupan sendiri adalah bahagia dan sedih ?Bahagia karena napas mengalir dan jantung berdetak.Sedih karena pikiran diliputi bayang-bayang.Adapun harapan adalah penghayatan akan ketegangan.
Ma, nyamperin matahari dari satu sisi,memandang wajahmu dari segenap jurusan.


:::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::



KENANGAN DAN KESEPIAN
Pengarang: WS. Rendra

Rumah tua
dan pagar batu
Langit di desa
sawah dan bambu

Berkenalan dengan sepi
pada kejemuan disandarkan dirinya
Jalanan berdebu tak berhati
lewat nasib menatapnya

Cinta yang datang
burung tak tergenggam
Batang baja waktu lengang
dari belakang menikam

Rumah tua
dan pagar batu
Kenangan lama
Dan sepi yang syahdu